Rencana pembangunan Tanggul Laut Raksasa atau Giant Sea Wall (GSW) di pesisir utara Jakarta kembali menjadi sorotan. Proyek ini bertujuan untuk mengatasi masalah banjir rob dan penurunan muka tanah di Jakarta, namun menuai kritik dari berbagai pihak, terutama aktivis lingkungan dan masyarakat pesisir.
Kritik terhadap Proyek Tanggul Laut Raksasa
Para aktivis lingkungan menilai proyek ini memiliki potensi dampak negatif terhadap ekosistem laut dan komunitas nelayan setempat. Mereka berpendapat bahwa tanggul dapat memperburuk kualitas air di dalamnya karena konsentrasi polutan yang meningkat. Selain itu, pola arus laut yang berubah dapat memengaruhi kehidupan biota laut di kawasan tersebut.
Also Read
Jeanny Sirait, juru kampanye Urban Justice dari Greenpeace Indonesia, menekankan bahwa proyek ini dapat merugikan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Ia juga menyarankan alternatif yang lebih berkelanjutan, seperti restorasi ekosistem mangrove yang tidak hanya melindungi pesisir dari banjir, tetapi juga memberikan manfaat ekologis yang luas.
Alternatif Solusi
Penanaman mangrove menjadi salah satu solusi yang banyak diusulkan oleh para aktivis. Mangrove memiliki kemampuan alami untuk mengurangi risiko banjir dan abrasi, sekaligus menyerap karbon dioksida. Meskipun membutuhkan waktu untuk tumbuh, mangrove dianggap sebagai pendekatan jangka panjang yang ramah lingkungan.
Selain itu, beberapa ahli menilai bahwa akar masalah penurunan muka tanah perlu diatasi dengan menghentikan ekstraksi air tanah yang berlebihan dan memperbaiki sistem drainase kota.
Tanggapan Pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan bahwa proyek Tanggul Laut Raksasa masih dalam tahap kajian mendalam. Mereka berjanji untuk mempertimbangkan semua masukan, termasuk dari aktivis lingkungan dan masyarakat terdampak.