Dwifungsi ABRI adalah doktrin yang memberikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dua peran utama: sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, serta sebagai kekuatan sosial-politik. Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Jenderal A.H. Nasution pada 11 November 1958 dan kemudian dilembagakan pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto melalui Ketetapan MPRS No II Tahun 1969.
Pada masa penerapan dwifungsi, ABRI tidak hanya berperan dalam bidang militer tetapi juga aktif dalam ranah politik dan pemerintahan. Perwira militer menduduki berbagai jabatan sipil strategis, termasuk kursi di parlemen, posisi gubernur, bupati, dan jabatan lainnya dalam birokrasi sipil. Hal ini memberikan militer pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan politik dan administrasi negara.
Setelah reformasi 1998, konsep dwifungsi ABRI dihapuskan sebagai upaya untuk memisahkan peran militer dari ranah politik dan pemerintahan, guna memperkuat supremasi sipil dan demokrasi. Namun, kekhawatiran muncul kembali seiring dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi ini dianggap berpotensi membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi militer.
Salah satu poin kontroversial dalam revisi tersebut adalah perubahan Pasal 47. Dalam undang-undang yang berlaku saat ini, prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif. Namun, revisi yang diusulkan memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan di kementerian dan lembaga negara tertentu tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri. Lembaga-lembaga tersebut mencakup kementerian yang membidangi politik dan keamanan negara, pertahanan, intelijen, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (SAR), Badan Narkotika Nasional (BNN), Mahkamah Agung, dan lainnya.
Also Read
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari 20 kelompok masyarakat sipil, menyatakan bahwa perluasan penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil berpotensi melemahkan profesionalisme militer dan mengancam supremasi sipil. Mereka khawatir bahwa hal ini dapat mengembalikan peran militer dalam ranah politik dan pemerintahan seperti pada era dwifungsi ABRI di masa Orde Baru.
Selain itu, revisi tersebut juga mengusulkan perpanjangan usia pensiun perwira dari 58 tahun menjadi 60 tahun, dan hingga 65 tahun untuk jabatan fungsional tertentu. Perwira tinggi bintang empat juga dapat diperpanjang masa dinasnya hingga dua kali dengan keputusan Presiden.
Kekhawatiran terhadap kembalinya dwifungsi ABRI melalui revisi UU TNI ini juga disoroti oleh media internasional. Media seperti The Straits Times dan Bloomberg menyoroti bahwa langkah tersebut dapat meningkatkan peran militer dalam pemerintahan Indonesia, yang berpotensi mengembalikan praktik dwifungsi militer yang pernah berlaku pada masa Orde Baru.