Penutupan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) pada 1 Maret 2025 menandai krisis serius dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menilai bahwa kejadian ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengelola sektor TPT secara efektif.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Penutupan Sritex berdampak signifikan terhadap perekonomian lokal dan nasional. Lebih dari 10.965 karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat sekitar dan melemahkan konsumsi lokal. Selain itu, bisnis lokal seperti toko, restoran, dan penyedia layanan lainnya turut terdampak, yang pada akhirnya dapat mengurangi pendapatan pajak daerah dan menghambat penyediaan layanan publik serta pembangunan infrastruktur.
Tantangan Industri TPT Nasional
Also Read
Kejatuhan Sritex menyoroti tantangan struktural dalam industri TPT Indonesia. Persaingan dari impor tekstil murah, terutama dari China, serta kebutuhan untuk memodernisasi teknologi dan beradaptasi dengan perubahan permintaan pasar global menjadi faktor utama yang mempengaruhi daya saing industri ini.
Catatan APSyFI
APSyFI mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir, sekitar 30 pabrik tekstil di Indonesia telah tutup, menyebabkan lebih dari 11.200 pekerja kehilangan pekerjaan. Penutupan pabrik-pabrik ini menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi industri TPT bukan hanya kasus Sritex semata, tetapi merupakan fenomena yang lebih luas yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.
Rekomendasi dan Langkah Ke Depan
Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan langkah-langkah strategis seperti memberikan insentif untuk modernisasi teknologi, melindungi industri dari persaingan impor yang tidak sehat, dan memastikan kesejahteraan pekerja yang terdampak. Pemerintah, asosiasi industri, dan pelaku usaha perlu berkolaborasi untuk menciptakan kebijakan yang mendukung keberlanjutan dan daya saing industri TPT Indonesia di pasar global.