Pada Rabu, 5 Maret 2025, nilai tukar rupiah mengalami penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan ini terjadi seiring dengan melemahnya indeks dolar AS yang mencapai kisaran 105,6, level terendah sejak awal Desember 2024. Pelemahan dolar AS ini dipicu oleh penerapan tarif impor baru oleh pemerintah AS terhadap Kanada, Meksiko, dan China, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi perlambatan ekonomi di AS.
Pada Senin, 3 Maret 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa tarif impor sebesar 25 persen untuk produk dari Meksiko dan Kanada mulai berlaku pada Selasa, 4 Maret 2025. Selain itu, AS juga mengenakan tambahan tarif 10 persen terhadap barang-barang impor dari China, sehingga total tarif impor untuk produk asal China mencapai 20 persen. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perang dagang yang dapat mengurangi transaksi perdagangan global dan berdampak pada perekonomian negara-negara berkembang.
Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, menyatakan bahwa tekanan terhadap dolar AS akibat kebijakan tarif impor baru tersebut memberikan ruang bagi penguatan mata uang emerging markets, termasuk rupiah. Namun, ia juga mengingatkan bahwa mata uang emerging markets masih berpotensi tertekan akibat meningkatnya risiko di pasar global. Ariston memproyeksikan potensi pelemahan rupiah terhadap dolar AS di kisaran Rp16.500 per dolar AS, dengan level support di sekitar Rp16.400 per dolar AS.
Pada pembukaan perdagangan hari Rabu di Jakarta, rupiah menguat 14 poin atau 0,09 persen menjadi Rp16.431 per dolar AS, dibandingkan sebelumnya di Rp16.445 per dolar AS.
Also Read
Secara keseluruhan, penguatan rupiah saat ini didorong oleh melemahnya dolar AS akibat kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi AS. Namun, pelaku pasar tetap perlu mewaspadai risiko yang mungkin timbul akibat ketidakpastian kebijakan perdagangan global dan dampaknya terhadap perekonomian negara-negara berkembang.