Aktivitas pertambangan emas di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, menimbulkan kekhawatiran serius terkait dampaknya terhadap lingkungan laut dan kearifan lokal masyarakat setempat. Sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama di sektor perikanan, Sangihe menghadapi ancaman signifikan dari operasi tambang yang berpotensi merusak ekosistem dan budaya lokal.
Dampak terhadap Lingkungan Laut
Kehadiran tambang emas di Sangihe berpotensi merusak ekosistem laut yang menjadi sumber penghidupan utama bagi masyarakat setempat. Aktivitas pertambangan dapat menyebabkan kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akibat sedimentasi dan pencemaran bahan kimia berbahaya. Kerusakan ini berdampak langsung pada penurunan populasi ikan dan biota laut lainnya, yang merupakan sumber mata pencaharian bagi nelayan lokal.
Also Read
Ancaman terhadap Kearifan Lokal
Selain dampak lingkungan, pertambangan emas juga mengancam kearifan lokal dan budaya masyarakat Sangihe. Tradisi dan praktik adat yang telah berlangsung lama berpotensi tergeser oleh masuknya budaya luar yang dibawa oleh pekerja tambang dari luar daerah. Hal ini dapat menyebabkan erosi nilai-nilai budaya dan perubahan dalam struktur sosial masyarakat setempat.
Penolakan Masyarakat dan Upaya Perlindungan
Masyarakat Sangihe telah menyuarakan penolakan terhadap aktivitas pertambangan yang dianggap merusak lingkungan dan mengancam kehidupan mereka. Koalisi Save Sangihe Island (SSI) dan berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya aktif mengadvokasi penghentian operasi tambang dan mendorong pemerintah untuk mencabut izin pertambangan yang telah diberikan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyoroti potensi pelanggaran hak asasi manusia akibat aktivitas pertambangan di Sangihe, termasuk hak atas lingkungan yang bersih dan sehat serta hak atas budaya.