Fenomena mengejutkan terjadi di Kabupaten Buleleng, Bali, di mana ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dilaporkan belum mampu membaca dengan lancar. Data dari Dinas Pendidikan setempat menunjukkan bahwa dari total 34.062 siswa SMP, sebanyak 155 siswa tidak bisa membaca sama sekali, sementara 208 siswa lainnya tergolong tidak lancar membaca .
Penyebab Utama: Faktor Internal dan Eksternal
Plt Kepala Dinas Pendidikan Buleleng, Putu Ariadi Pribadi, mengidentifikasi beberapa faktor penyebab rendahnya kemampuan membaca di kalangan siswa SMP. Faktor internal meliputi kurangnya motivasi belajar, minimnya dukungan keluarga, serta kondisi disleksia atau disabilitas tertentu. Sementara itu, faktor eksternal mencakup dampak jangka panjang dari pembelajaran jarak jauh selama pandemi COVID-19, kesenjangan literasi dari jenjang Sekolah Dasar (SD), dan pemahaman yang keliru terhadap implementasi Kurikulum Merdeka .
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Made Sedana, menambahkan bahwa kebijakan naik kelas otomatis tanpa mempertimbangkan penguasaan kompetensi dasar turut berkontribusi terhadap masalah ini. Ia menekankan perlunya evaluasi terhadap kebijakan tersebut untuk memastikan bahwa siswa benar-benar menguasai kemampuan dasar sebelum melanjutkan ke jenjang berikutnya .
Also Read
Upaya Penanganan dan Solusi
Wakil Bupati Buleleng, Gede Supriatna, menyatakan bahwa akar permasalahan tidak hanya terletak pada metode pengajaran di sekolah, tetapi juga pada lingkungan keluarga dan kondisi psikologis siswa. Data menunjukkan bahwa 52% siswa memiliki motivasi belajar yang rendah, dan 18% lainnya kurang mendapatkan dukungan dari keluarga .
Sebagai langkah awal, pemerintah daerah berencana melibatkan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Buleleng sebagai relawan untuk mendampingi siswa yang mengalami kesulitan membaca. Selain itu, Dewan Pendidikan mendorong pembentukan kelas khusus bagi siswa dengan kemampuan belajar lambat, optimalisasi pelatihan guru, serta deteksi dini terhadap disleksia .
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap situasi ini dan menekankan perlunya intervensi cepat serta strategi pembelajaran yang lebih berpihak pada kebutuhan siswa. Ia menegaskan bahwa literasi adalah fondasi segala proses belajar, dan tidak boleh ada satu anak pun yang kehilangan hak dasarnya untuk bisa membaca .
Kesimpulan
Kasus ini menjadi peringatan serius bagi sistem pendidikan di Indonesia. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan ini secara menyeluruh. Dengan langkah-langkah konkret dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan setiap anak dapat memperoleh haknya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan mampu membaca dengan baik.