Kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Jambi menimbulkan pertanyaan serius mengenai penegakan hukum yang cenderung menyasar petani kecil, sementara perusahaan besar yang lahannya turut terbakar seringkali luput dari sanksi tegas.
Penangkapan Petani Kecil
Contoh nyata adalah kasus Dewita Br Silalahi, seorang petani dari Desa Pemayungan, Kabupaten Tebo. Pada 31 Juli 2024, Dewita ditangkap saat membersihkan lahan di belakang rumahnya dengan menggunakan parang. Meskipun tidak ditemukan bukti pembakaran aktif, ia tetap ditahan dan didakwa atas tuduhan perambahan hutan dan pembakaran lahan. Proses hukum ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak yang menilai penegakan hukum lebih berat sebelah dan tidak adil.
Also Read
Perusahaan Luput dari Sanksi
Di sisi lain, data menunjukkan bahwa pada tahun 2024, lebih dari separuh dari total 10.229 hektar lahan yang terbakar di Jambi berada dalam konsesi perusahaan, termasuk perkebunan sawit dan izin pemanfaatan hutan. Namun, hingga akhir tahun tersebut, belum ada perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka, meskipun lahannya terbakar. Hal ini menimbulkan kesan bahwa penegakan hukum lebih berfokus pada individu atau petani kecil dibandingkan korporasi besar.
Desakan Penegakan Hukum yang Adil
Organisasi lingkungan seperti WALHI Jambi mendesak aparat penegak hukum untuk bersikap transparan dan adil dalam menangani kasus karhutla. Mereka menekankan bahwa penegakan hukum seharusnya tidak hanya menyasar petani kecil, tetapi juga korporasi yang lahannya terbakar. Selain itu, WALHI Jambi menyoroti bahwa beberapa perusahaan yang lahannya terbakar tidak melakukan upaya mitigasi yang memadai untuk mencegah kebakaran, yang seharusnya menjadi perhatian serius dalam penegakan hukum.
Kritik terhadap Sistem Hukum
Ketidakadilan ini dianggap sebagai hasil dari sistem hukum dan pengawasan lingkungan yang lemah, di mana kekuatan ekonomi dan politik perusahaan besar memberikan mereka kekebalan de facto. Peraturan dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan seringkali tidak berpengaruh pada mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik, sementara petani kecil menjadi korban utama penegakan hukum.