Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengungkap temuan terkait proses blending bahan bakar minyak (BBM) oleh Pertamina. Menurut Kejagung, pencampuran BBM yang seharusnya dilakukan oleh Kilang Pertamina Internasional (KPI) ternyata melibatkan pihak swasta dalam prosesnya. Hal ini dianggap menyalahi prosedur yang telah ditetapkan.
Proses blending BBM bertujuan untuk mendapatkan kadar oktan yang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Namun, dalam kasus ini, ditemukan bahwa BBM jenis Pertalite (RON 90) dicampur dengan Pertamax (RON 92) oleh pejabat PT Pertamina Patra Niaga. Hasil pencampuran ini kemudian dijual sebagai Pertamax, yang dianggap sebagai tindakan pengoplosan dan menyalahi prosedur resmi.
Pakar bahan bakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto, menjelaskan bahwa blending dan pengoplosan sebenarnya memiliki arti yang sama, yaitu mencampur. Namun, istilah “oplos” sering kali memiliki konotasi negatif. Tri menekankan bahwa proses blending seharusnya dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini Pertamina.
Also Read
Menanggapi temuan ini, Pertamina melalui PT Pertamina Patra Niaga menyatakan bahwa mereka tidak melakukan pengoplosan BBM Pertamax. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, menegaskan bahwa kualitas Pertamax yang diproduksi telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah, yaitu RON 92. Proses yang dilakukan di terminal BBM Pertamina adalah penambahan zat aditif untuk meningkatkan performa produk, bukan untuk mengubah nilai oktan BBM.
Kejagung menegaskan bahwa temuan ini terjadi pada periode 2018-2023 dan masyarakat tidak perlu khawatir terhadap kualitas Pertamax yang beredar saat ini. Stok BBM hasil blending yang menyalahi prosedur tersebut telah habis terpakai, dan BBM yang saat ini beredar telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.