Pada awal 2025, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Tujuan utama perpres ini adalah mempercepat penyelesaian permasalahan tata kelola lahan di dalam kawasan hutan. Namun, muncul pertanyaan: apakah perpres ini benar-benar membenahi tata kelola hutan atau justru sebaliknya?
Fokus pada Denda Administratif
Beberapa organisasi masyarakat sipil menilai bahwa perpres ini lebih menitikberatkan pada peningkatan pendapatan negara melalui denda administratif, ketimbang perbaikan tata kelola, pemulihan fungsi kawasan, dan penyelesaian konflik. Adam Putra Firdaus, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyatakan bahwa perpres ini memperkenalkan tipologi penyelesaian baru berupa sanksi penguasaan kembali oleh negara. Namun, tanpa mempertimbangkan situasi tertentu, mekanisme ini dikhawatirkan dapat memperpanjang konflik dan kekerasan.
Keterlibatan Militer dalam Penertiban
Also Read
Hal lain yang menjadi sorotan adalah keterlibatan institusi pertahanan, seperti Menteri Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam struktur Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan. Keterlibatan ini dianggap bertentangan dengan tugas dan peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Kekhawatiran muncul bahwa militerisasi di kawasan hutan dapat menjadi ancaman bagi masyarakat sekitar, termasuk masyarakat adat.
Potensi Ancaman bagi Masyarakat Adat
Perpres ini juga dikhawatirkan dapat digunakan untuk menggusur pemukiman, kebun, serta perladangan masyarakat yang ada dalam kawasan hutan dengan tujuan mengalokasikan kembali kawasan tersebut untuk kebutuhan lain, seperti pangan dan energi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa lebih mudah menertibkan, menggusur, dan merampas tanah rakyat ketimbang mengambil kembali hutan dan tanah yang dikuasai secara ilegal atau tidak legitimate oleh korporasi.
Kurangnya Partisipasi Publik
Proses tata batas kawasan hutan sering kali tidak melibatkan masyarakat lokal secara partisipatif. Banyak masyarakat yang telah lama mendiami kawasan hutan tidak memahami bahwa tanah yang mereka kelola dianggap sebagai kawasan hutan negara secara formal. Hal ini sering menjadi akar konflik tenurial yang berlarut-larut.
Kesimpulan
Perpres Nomor 5 Tahun 2025 menunjukkan ambisi besar pemerintah dalam menertibkan kawasan hutan. Namun, tanpa pendekatan yang inklusif dan berkeadilan, perpres ini berpotensi memperparah konflik tenurial dan mengancam hak-hak masyarakat adat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara, tetapi juga memperhatikan keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan hak-hak masyarakat adat. Perpres ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola hutan secara inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan.