Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Yanto Santosa, menekankan pentingnya implementasi kebijakan Satu Peta (One Map Policy) untuk menertibkan lahan sawit di Indonesia. Ia menyoroti bahwa saat ini terdapat perbedaan peta antara kementerian, seperti Kementerian Kehutanan dan Kementerian Transmigrasi, yang dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penataan lahan.
Menurut Prof. Yanto, tanaman sawit sudah mulai marak ditanam sejak sebelum tahun 1999, sebelum Undang-Undang Kehutanan lahir. Oleh karena itu, kurang bijaksana jika penertiban kawasan hutan dilakukan dengan peta kawasan hutan versi Kementerian Kehutanan yang belum dikukuhkan secara nasional. Ia menekankan bahwa pengukuhan kawasan hutan harus melibatkan semua pemangku kepentingan terkait untuk memastikan legitimasi dan menghindari konflik sosial.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit, sekitar 3,3 juta hektare berada di dalam kawasan hutan. Prof. Yanto menyarankan agar Satgas Penertiban Kawasan Hutan melakukan inventarisasi cermat dan konsultasi dengan masyarakat serta pemangku kepentingan untuk memastikan transparansi dan menghindari konflik sosial.
Ia juga menyoroti bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan memiliki niat baik untuk menertibkan kawasan hutan. Namun, ia mengingatkan bahwa regulasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja sudah mencakup sanksi denda, sehingga penerapan perpres tersebut harus dilakukan secara arif dan bijaksana untuk menghindari dampak negatif terhadap industri sawit dan masyarakat yang bergantung padanya.
Also Read
Dengan implementasi kebijakan Satu Peta yang melibatkan semua pemangku kepentingan, diharapkan penertiban lahan sawit dapat dilakukan secara efektif dan adil, sehingga mendukung keberlanjutan industri kelapa sawit serta menjaga kelestarian hutan di Indonesia.