Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas pada April 2025, dengan kedua negara saling menaikkan tarif impor secara signifikan. AS menaikkan tarif impor barang dari China hingga 145%, sementara China membalas dengan menaikkan tarif barang dari AS hingga 125% . Langkah ini memicu kekhawatiran global akan dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dan perdagangan internasional.
Dampak Global: Inflasi, Resesi, dan Ketidakpastian Pasar
Konflik tarif ini menyebabkan gangguan signifikan dalam perdagangan global. Perusahaan-perusahaan besar seperti Tesla dan Apple menghadapi kenaikan biaya produksi serta gangguan dalam distribusi di pasar China . Di AS, konsumen menghadapi lonjakan harga barang impor, sementara perusahaan mempertimbangkan pengurangan tenaga kerja dan restrukturisasi operasi. Para ekonom dari JPMorgan dan Deutsche Bank memperingatkan bahwa eskalasi ini meningkatkan risiko resesi di AS dan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi global .
Dampak terhadap Indonesia dan Negara Berkembang
Indonesia, sebagai mitra dagang utama kedua negara, turut merasakan dampak negatif dari konflik ini. Studi dari Universitas Airlangga memperkirakan bahwa dampak tidak langsung terhadap Indonesia mencapai sekitar US$370 juta, akibat penurunan ekspor ke AS dan China . Selain itu, ketidakpastian global mempengaruhi keputusan investasi dan perdagangan, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi domestik.
Reaksi Pasar dan Harga Komoditas
Pasar saham global menunjukkan volatilitas tinggi sebagai respons terhadap ketegangan ini. Indeks saham utama di Wall Street mengalami penurunan tajam, sementara harga minyak mentah turun karena kekhawatiran akan penurunan permintaan global . Investor mencari aset aman, seperti emas, yang harganya melonjak ke rekor tertinggi.
Also Read