Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyoroti sistem pembayaran digital Indonesia, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), sebagai hambatan perdagangan dalam laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) 2025. AS mengkritik bahwa QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) membatasi akses perusahaan penyedia layanan pembayaran asing, seperti Visa dan Mastercard, ke pasar Indonesia. Kritik ini muncul karena kebijakan Bank Indonesia (BI) yang mengharuskan transaksi domestik diproses melalui sistem dalam negeri tanpa melibatkan perusahaan asing.
Meskipun mendapat kritik, penggunaan QRIS di Indonesia terus meningkat pesat. Hingga kuartal I 2025, jumlah pengguna QRIS mencapai 56,3 juta, dengan volume transaksi mencapai 2,6 miliar dan nilai transaksi sebesar Rp262,1 triliun. Sebagian besar merchant yang menggunakan QRIS adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang jumlahnya mencapai 38,1 juta.
Bank Indonesia menanggapi kritik AS dengan menyatakan bahwa QRIS dirancang untuk inklusi keuangan dan terbuka untuk kerja sama internasional. Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menegaskan bahwa BI siap berkolaborasi dengan negara lain, termasuk AS, asalkan ada kesiapan teknis dan komitmen kerja sama yang seimbang.
Pengembangan QRIS juga telah meluas ke transaksi lintas negara. QRIS kini dapat digunakan di beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, dengan rencana ekspansi ke Jepang, India, Korea Selatan, China, dan Arab Saudi.
Also Read
Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Nauli Desdiani, menyatakan bahwa pengembangan QRIS bukan bentuk proteksionisme, melainkan upaya memperkuat kedaulatan keuangan digital Indonesia. Ia menekankan pentingnya infrastruktur keuangan domestik yang kuat untuk mengurangi ketergantungan pada sistem pembayaran asing.