Amerika Serikat (AS), yang selama ini dikenal sebagai promotor utama perdagangan bebas, kini menunjukkan paradoks dalam kebijakan ekonominya. Pada 3 April 2025, Presiden AS, Donald Trump, menetapkan tarif impor hingga 32 persen terhadap produk dari Indonesia, sebuah langkah yang bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan yang selama ini didukung oleh AS.
Langkah proteksionis ini tidak hanya menyasar Indonesia, tetapi juga negara lain seperti China, Vietnam, Thailand, Australia, dan Kanada, yang merupakan mitra dagang utama AS. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi AS dalam mempromosikan perdagangan bebas, mengingat tindakan tersebut justru membatasi arus perdagangan internasional.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri. Selain berdampak pada sektor ekonomi, hal ini juga menjadi pengingat bahwa dalam dinamika ekonomi global, tidak ada jaminan konsistensi dari negara-negara besar. Oleh karena itu, Indonesia perlu memperkuat kapasitas domestik dan memperluas aliansi strategis untuk menghadapi perubahan kebijakan internasional semacam ini.
Paradoks yang ditunjukkan oleh AS ini mencerminkan kompleksitas dalam penerapan nilai-nilai liberalisme ekonomi, di mana kepentingan domestik sering kali berbenturan dengan komitmen internasional. Situasi ini menuntut negara-negara lain untuk lebih cermat dalam membaca arah kebijakan global dan menyesuaikan strategi ekonominya secara adaptif.
Also Read